Kamis, 11 April 2019

KLASIFIKASI DAN JENIS MANFAAT SUMBER DAYA HUTAN

KLASIFIKASI DAN JENIS MANFAAT SUMBER DAYA HUTAN


Dosen Penanggung Jawab :
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si
Disusun Oleh:
Agung Kurniawan                171201057

HUT D

















PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019




KLASIFIKASI DAN JENIS MANFAAT SUMBER DAYA HUTAN



Hutan merupakan  suatu wilayah yang mana menjadi tempat tumbuhnya pohon- pohon dan jenis tanaman yang lain. Pengertian hutan tidak hanya berhenti sesederhana itu. Hutan juga bisa dikatakan sebagai ekosistem yang mejadi tempat hidup dan berinteraksi bagi hewan maupun tumbuh- tumbuhan. Hutan terdiri dari tiga bagian utama, yakni bagian atas, bagian permukaan tanah dan bagian di bawah tanah. Di bagian atas hutan terdapat kanopi alami yakni dedaunan pohon yang tumbuh lembat. Di permukaan tanah hutan terdapat guguran daun- daun kering serta ditumbuhi semak- semak dan rerumputan. Sedangkan di bagian bawah tanah hutan terdapat unsur hara, akar tanaman, sumber mata air dan juga dihuni mikroorganisme.

            Hutan bisa ditemukan di wilayah dengan iklim tropis, dataran rendah dan juga dataran tinggi (baca : Jenis Jenis Hutan Berdasarkan Iklim). Terdapat berbagai jenis hutan diantaranya adalah hutan gugurhutan sabanahutan heterogenhutan homogenhutan mangrovehutan buatan dan hutan hujan tropis. Indonesia sebagai negara yang berada di garis khatulistiwa mempunyai hutan hujan tropis yang selalu lembab sepanjang tahun. Keanekaragaman hayati yang berada di dalam hutan hujan tropis sangatlah tinggi. Hal ini menjadi potensi sumber daya alam tersendiri bagi Indonesia.

            Sumber daya hutan dan kehutanan mendapat perhatian tersendiri dalam pembicaraan mengenai Manajemen Sumber Daya Alam atau Ekonomi Sumber Daya Alam. Hal ini disebabkan oleh karena hutan, di samping mempunyai karakteristik biologis, juga mempunyai ciri ekonomi khusus yang akan mempengaruhi kebijakan pengelolaan hutan.

            Sumbangan bidang kehutanan bagi perekonomian Indonesia secara sederhana dapat dilihat dari nilai ekspor Indonesia pada dasawarsa 1980-an dan 1990-an yang menduduki peringkat kedua di bawah ekspor migas. Dalam skala yang lebih kecil, akan lebih nyata dapat dibuktikan bahwa sumber daya hutan masih menjadi sandaran utama perekonomian sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama masyarakat marginal.

            Jika dilihat dari aspek biologisnya, hutan memainkan peranan yang jauh lebih penting, karena keberadaannya dapat dikatakan mempengaruhi hampir segala aspek kehidupan manusia. Apalagi hutan tropika sebagaimana yang ada di Indonesia, sudah diakui banyak ilmuwan mempunyai fungsi sebagai paru-paru dunia. Dalam hal ini, hutan dikatakan mempunyai peranan yang berdampak ekologik, seperti perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS), konservasi ekologi, dan sumber plasmanutfah dan keanekaragaman hayati dan lain-lain. Konsep pengelolaan sumber daya hutan harus diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara penggunaan dan pengembangan hutan.

Pada akhir dekade 1980-an, hutan tropis Indonesia tercatat sebagai yang ketiga terluas di dunia setelah Brazil dan Zaire. Namun kondisi hutan Indonesia saat ini sudah sangat menurun potensinya karena “kultur pengelolaan” yang sangat tidak layak. Hal yang sama juga terjadi pada kebanyakan negara-negara yang sedang berkembang. Sebaliknya, pengelolaan hutan secara benar yang berasaskan pada kelestarian alam dan kelestarian usaha, telah membuat penutupan vegetasi hutan dunia semakin bergeser kepada negara-negara maju yang pada umumnya beriklim sedang dan dingin. Kondisi ini akan semakin menurunkan daya saing negara-negara sedang berkembang yang sebagian besar masih mengandalkan perekonomiannya pada pemanfaatan sumber daya hutannya.

Untuk cakupan kehutanan Indonesia, statistik yang menunjukkan terjadinya penyusutan jumlah areal hutan (deforestation) dapat dilihat dalam Tabel 8.1 dan 8.2 yang masing-masing menggambarkan kondisi tahun 1984 dan 2000. Secara keseluruhan, kita dapat melihat penyusutan luas areal kawasan berhutan Indonesia dari 113,43 juta hektar menjadi 82,92 juta hektar. Dari kenyataan ini, sejak tahun 2004 pemerintah telah berusaha untuk meredefinisi ulang tata-guna kawasan untuk areal kehutanan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan (RPJPK). Potensi sumber daya hutan dapat berupa kayu dan non kayu. Berikut penjelasannya.

Kayu
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hutan ditumbuhi oleh pepohonan berkayu. Potensi hutan berupa kayu ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, bahan baku kertas, bahan baku industri meubel dan lain sebagainya (baca : Pemanfaatan Hutan). Setidaknya terdapat 4000 jenis kayu yang keberadaannya tersebar di nusantara. Lebih dari 250 jenis kayu tersebut merupakan kayu dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi. Diantara jenis – jenis kayu tersebut adalah :
·         Kayu jati
Potensi hutan berupa kayu yang pertama adalah kayu jati. Nama latin dari pohon yang menghasilkan jenis kayu ini adalah Tectona grandis. Pohon jati tumbuh di hutan buatan maupun hutan alami yang memiliki curah hujan berkisar antara 1.500 sampai 2000 mm per tahun. Jati dapat tumbuh di dataran tinggi maupun dataran rendah yang tidak digenangi air. Persebaran hutan jati di nusantara meliputi beberapa daerah seperti Pulau Jawa, Nusa Tenggara dan Bali. Di Pulau Jawa sendiri, persebaran jati paling banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Kayu jati memiliki tekstur yang keras dan awet karena terdapat minyak di dalamnya. Hal ini membuat kayu jati banyak dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat interior rumah. Selain sebagai interior rumah, kayu jati juga digunakan sebagai atap dan tiang penyangga rumah- rumah  tradisional jawa. Kayu jati yang sudah diolah juga bisa dimanfaatkan untuk membuat kapal dan konstruksi jembatan. Semua manfaat yang bisa diperoleh dari kayu jati membuat kayu ini memiliki nilai ekonomis yang tinggi. (baca juga : Pemanfaatan Sumber Daya Alam)
·         Kayu meranti
Kayu meranti terkenal di kalangan pertukangan dan perdagangan kayu. Terdapat berbagai jenis pohon meranti yang diantaranya adalah meranti hitam batang, balangeran, tengkawang gunung, dan meranti buaya bukit. Jenis- jenis pohon meranti tersebut menghasilkan kayu meranti merah. Persebarannya meliputi hutan- hutan di Pulau Kalimantan dan Sumatera. Kayu meranti sering dimanfaatkan sebagai kayu konsrtuksi, penyekat ruangan dalam bangunan, bahan pembuatan meubel dan berbagai interior dalam rumah. Selain menghasilkan kayu, pohon meranti juga menghasilkan resin, yaitu sejenis getah yang keluar dari batang pohon. Resin ini selanjutnya akan dibahas dalam potensi hutan non kayu.
·         Kayu cendana
Kayu cendana dihasilkan dari pohon dengan nama latin Santalum album yang ditemukan di Nusa Tenggara Timur. Meski demikian, persebaran cendana sekarang sudah meliputi hutan- hutan di daerah Jawa dan keseluruhan Nusa Tenggara. Kayu cendana ini sudah menjadi barang langka sehingga harganya menjadi begitu mahal. Kayu cendana memiliki aroma yang wangi. Itulah nilai lebih dari kayu cendana dibandiingkan jenis  kayu lainnya. Pemanfaatan kayu cendana diantaranya adalah sebagai bahan pembuatan dupa & aroma terapi, sebagai campuran parfum, serta bahan pembuatan sarung keris.
·         Kayu akasia
Akasia memiliki nama latin Acacia mangium. Kayu akasia banyak ditemukan di hutan- hutan Jawa Barat. Pada awalnya, kayu akasia dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan kertas. Banyak pabrik kertas yang mencari pohon akasia dengan usia berkisar antara 3 sampai 5 tahun. Perkembangan selanjutnya, kayu akasia juga digunakan sebaga bahan baku pembuatan furnitur. Hal ini membuat permintaan kayu akasia oleh industri meubel maupun kertas semakin meningkat.
Non Kayu
Meskipun potensi hutan dominan dengan kayu, tetapi ada juga potensi lain dari hutan yang tak kalah bermanfaat (baca : Manfaat Hutan). Potensi hutan ini juga termasuk dalam sumber daya alam biotik yang dapat terus diperbaharui (baca juga : Contoh Sumber Daya Alam yang Dapat Diperbaharui). Beberapa hasil hutan non kayu adalah madu, buah- buahan, jamur, damar, rotan, sagu, sutera dan lain sebagainya. Berikut adalah penjelasan singkat dari masing- masing contoh potensi hutan non kayu.
  •          Buah- buahan – Terdapat berbagai jenis buah- buahan yang bisa diperoleh dari hutan. Diantara buah- buahan yang bisa ditemukan di hutan adalah buah durian, buah bery, buah kaktus pir berduri, jambu monyet, buah ara, markisa, buah keramu dan lain sebagainya.
  •   Madu – Cairan kental yang diperoleh dari sarang lebah ini kaya akan manfaat. Madu asli hutan biasanya dijadikan obat herbal dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
  •  Karet – Potensi hutan non kayu yang satu ini sebenarnya adalah getah dari pohon yang biasa kita sebut pohon karet. Penghasil karet ini sebetulnya adalah para atau Hevea brasillensis. Nilai ekonomis karet juga tergolong tinggi karena karet banyak digunakan diberbagai industri seperti industri pembuatan ban.
  •   Rempah- rempah – Jenis rempah- rempah yang dihasilkan hutan diantaranya adalah kayu manis, pala, cengkih dan vanila. Hutan di Maluku banyak menghasilkan rempah- rempah yang sering diperdagangkan sejak zaman dahulu. Karena rempah- rempah ini lah dulu Indonesia menjadi negara tujuan penjajahan Portugis dan Belanda.
  •  Rotan – Batang rotan mempunyai panjang puluhan meter dan banyak dimanfaatkan untuk membuat interior rumah. Sebelum diolah, rotan harus dibersihkan terlebih dahulu karena rotan mempunyai pelepah yang berduri. Sebagian besar rotan di Indonesia dihasilkan dari hutan yang berada di daerah Sumatera, Jwa, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara.
  • Sagu – Potensi hutan non kayu yang berbentuk tepung ini berasal dari proses pengolahan batang pohon sagu. Penduduk Indonesia bagian timur menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok. Masyarakat Maluku dan Papua biasanya memanen sagu dari hutan kemudian mengolahnya menjadi masakan bernama papeda.



Fungsi dan Peranan Hutan

 Definisi hutan secara komprehensif dapat kita temui dalam UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyebutkan bahwa Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisah-kan. Dalam peran ekologisnya, secara umum hutan dapat dipandang memiliki fungsi-fungsi sebagai:
- Habitat kehidupan liar
- Penghasil kayu bakar, kayu gergajian dan produk kertas
- Tempat rekreasi
- Penting dalam daur ulang global untuk air, oksigen, karbon, dan nitrogen.Ekosistem hutan mencerminkan cadangan CO2 paling penting di seluruh dunia.
-  Menyerap, menahan, dan melepas secara perlahan siklus air sehingga mengurangi erosi dan banjir (fungsi hidro-orologis).

            Sedangkan untuk keperluan pengelolaan hutan di Indonesia, hutan dibedakan menjadi empat menurut fungsi bio-ekonominya :
1.     Hutan Lindung: adalah kawasan hutan yang berfungsi untuk mengatur tata-air, mencegah banjir dan erosi, serta mempertahankan kesuburan tanah.
2.    Hutan Suaka Alam: adalah kawasan hutan yang karena sifatnya yang khas secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pelestarian sumber daya plasma nutfah dan penyangga kehidupan.
3.    Hutan Wisata: adalah kawasan hutan yang diperuntukkan secara khusus untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan wisata, pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan.
4.    Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna memproduksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat, industri, dan ekspor. Untuk keperluan pengusahaan ini, dikenal adanya 3 macam hutan produksi, yakni Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas, dan Hutan Konversi.

            Secara sederhana, Undang-Undang Kehutanan menyatakan bahwa fungsi pokok hutan ada 3, yakni: konservasi, lindung, dan produksi. Klasifikasi tipe-tipe hutan yang dibuat oleh beberapa ahli agak sedikit berbeda-beda, namun pada dasarnya merupakan impli-kasi dari tiga fungsi pokok tersebut.

Kondisi Umum Kehutanan Indonesia Dalam 20 tahun mendatang hutan dan kehutanan Indonesia akan menghadapi tantangan yang kian besar. Pesatnya pertambahan penduduk, meningkatnya kebutuhan lahan dan komsumsi kayu untuk pembangunan dan perumahan, persaingan global dalam industri kehutanan dan dinamika kehidupan masyarakat akan akses terhadap sumber daya hutan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh sektor kehutanan dalam masa – masa mendatang. Dari sudut sumber daya hutan sampai dengan akhir tahun 2004 pemerintah telah mengakui (klaim) hutan negara seluas 120,35 juta ha. Tetapi dari luasan tersebut Menteri Kehutanan baru menunjuk seluas 109,9 juta ha. Kawasan hutan tersebut terdiri dari hutan konservasi seluas 23,24 juta ha, hutan lindung seluas 29,1 juta ha, hutan produksi terbatas seluas 16,21 juta ha, hutan produksi seluas 27,74 juta ha, dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 13,67 juta Ha.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian, hutan dan perairan Indonesia memiliki kekayaan alam hayati yang tinggi, tercermin dengan keanekaragaman jenis satwa dan flora. Sejauh ini kekayaan tersebut diindikasikan dengan jumlah mamalia 515 jenis (12 % dari jenis mamalia dunia), 511 jenis reptilia (7,3 % dari jenis reptilia dunia), 1.531 jenis burung (17 % jenis burung dunia), 270 jenis amphibi, 2.827 jenis binatang tak bertulang, dan 38.000 jenis tumbuhan. Populasi dan distribusi kekayaan tersebut saat ini mengalami penurunan sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya hutan (SDH) yang kurang bijaksana antara lain: pemanfaatan yang berlebihan, perubahan peruntukan kawasan hutan (legal dan ilegal), bencana alam, dan kebakaran hutan. Sebagai contoh kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997/1998 tercatat seluas 5,2 juta Ha.

Sampai dengan tahun 2002 tercatat luas kawasan hutan yang terdegradasi seluas 59,7 juta ha, sedangkan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan tercatat seluas 42,1 juta ha. Sebagian dari lahan tersebut berada pada daerah aliran sungai (DAS) yang diprioritaskan untuk direhabilitasi. Sampai dengan tahun 2004, pemerintah telah memprioritaskan 458 DAS, diantaranya 282 merupakan prioritas I dan II. Pemerintah telah menetapkan perlindungan terhadap 57 jenis tumbuhan dan 236 jenis satwa yang terancam punah dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Dalam upaya menangani perdagangan tumbuhan dan satwa yang mendekati kepunahan, Indonesia telah menandatangani konvensi CITES dan mendaftarkan sejumlah 1.104 jenis tumbuhan dan sejumlah 614 jenis satwa dalam appendix I dan II.

Dalam rangka mempertahankan ekosistem dan keanekaragaman hayatinya, sampai dengan tahun 2004 Pemerintah telah menetapkan kawasan konservasi daratan yaitu: 44 unit Taman Nasional (TN), 104 unit Taman Wisata Alam (TWA), 17 unit Taman Hutan Raya (TAHURA), 14 unit Taman Buru (TB), 214 unit Cagar Alam (CA), dan 63 unit Suaka Margasatwa (SM). Sedangkan wilayah konservasi laut telah ditetapkan: 6 unit TN, 9 unit CA, 6 unit SM, 18 unit TWA. Pada tataran global, selain aktif di CITES, Indonesia meratifikasi dan terlibat aktif dalam UNCCC, Kyoto Protocol, UNCBD, UNCCD, Konvensi RAMSAR dan World Heritage. Selain itu Indonesia juga berperan aktif dalam committee on forest (COFO)/FAO, ITTO dan UNFF serta kesepakatan-kesepakatan lain yang bersifat global dan regional.

Di sisi kependudukan sensus BPS tahun 2003, mengindikasikan jumlah penduduk Indonesia mencapai 220 juta orang. CIFOR (2004) dan BPS (2000) menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta diantaranya tinggal di sekitar kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta diantaranya tergolong kategori miskin. Penduduk yang bermata pencaharian langsung dari hutan sekitar 6 juta orang dan sebanyak 3,4 juta orang di antaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Secara tradisi, pada umumnya masyarakat tersebut memiliki mata pencaharian dengan memanfaatkan produk-produk hutan, baik kayu maupun bukan kayu (al. rotan, damar,.gaharu, lebah madu). Keadaan pendidikan dan kesehatan penduduk sekitar hutan pada umumnya tidak sebaik di perkotaan. Akses terhadap fasilitas tersebut di atas dapat dikatakan rendah. Seiring dengan kondisi tersebut, sanitasi perumahan dan lingkungan masih kurang memadai. Dengan mening-katnya jumlah dan kepadatan penduduk di dalam dan sekitar kawasan hutan, kondisi kualitas sosial penduduk di sekitar hutan secara umum menurun.

Upaya untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat di dalam dan sekitar hutan, telah dilakukan pemerintah antara lain melalui: Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) oleh 169 pemegang HPH (di luar jawa), Pengelolaan Hutan Bersama Masya-rakat (PHBM) oleh Perum Perhutani (di Jawa), serta Hutan Kemasyarakatan (HKm). Pada tahun 2003 tercatat pelaksanaan PMDH sebanyak 267 desa (20.542 KK), dan HKm seluas 50.644 ha. Program Social Forestry telah dicanangkan Presiden pada 2 Juli 2003 di Palangkaraya. Program ini dimaksudkan memberi kesempatan kepada masya-rakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam pengelolaan sumber daya hutan. Sampai saat ini telah dilaksanakan fasilitasi kelembagaan berupa pembentukan kelompok usaha produktif dan penyusunan rencana kegiatan antar sektor pada wilayah 7 provinsi.

Pemanfaatan hutan secara komersial terutama di hutan alam, yang dimulai sejak tahun 1967, telah menempatkan kehutanan sebagai penggerak perekonomian nasional. Indonesia telah berhasil merebut pasar ekspor kayu tropis dunia yang diawali dengan ekspor log, kayu kergajian, kayu lapis, dan produk kayu lainnya. Selama 1992 – 1997 tercatat devisa sebesar US$ 16.0 milyar, dengan kontribusi terhadap PDB termasuk industri kehutanan rata-rata sebesar 3,5 %. Pada tahun 2003 ekspor kehutanan secara resmi dilaporkan sejumlah US$ 6,6 milyar atau sekitar 13,7 % dari nilai seluruh ekspor non migas. Ekspor tersebut terdiri dari kayu lapis, kayu gergajian, dan kayu olahan sebesar US$ 2,8 milyar, pulp and paper sebesar US$ 2,4 milyar dan furnitur sebesar US$ 1,1 milyar dan sisanya berasal dari kayu olahan lain. Tetapi menurut perkiraan, karena tak tercatat semuanya jumlah tersebut dapat mencapai lebih dari US$ 8,0 milyar.

Sungguhpun demikian masa keemasan industri kehutanan mulai tahun 1990 mengalami penurunan. Hal tersebut digambarkan antara lain dengan penurunan jumlah unit pengusahaan hutan (HPH) dari 560 unit (tahun 1990) dengan ijin produksi 27 juta m3 , menjadi 270 unit HPH (tahun 2002) dengan ijin produksi 23,8 juta m3 . Penurunan berlanjut pada tahun 2003 dengan ijin produksi 6,8 juta m3 dan tahun 2004 dengan ijin produksi 5,8 juta m3 . Pemanfataan hutan dari tahun 1989 sampai dengan 2003 juga menunjukkan penurunan baik luasan areal dan jumlah unit pengusahaannya. Jumlah unit pengusahaan hutan pada tahun 2003 tercatat 267 unit atau menurun sebesar 52,1 % dibandingkan pada tahun 1989. Jumlah industri pengolahan kayu sampai dengan tahun 2003 tercatat total mencapai 1881 unit dengan rincian: 1.618 unit sawmill dengan kapasitas 11,048 juta m3 ; 107 unit Plymill dengan kapasitas 9,43 juta m3 ; 6 unit industri pulpmill dengan kapasitas 3,98 juta m3 , 78 industri blockboard dengan kapasitas 2,08 juta m 3 ; dan 73 unit industri pengolahan kayu lainnya dengan kapasitas 3,15 juta m3 .

Walaupun demikian penurunan kontribusi industri kehutanan diimbangi dengan peningkatan hasil hutan bukan kayu. Kontribusi hasil hutan bukan kayu (rotan, arang dan damar) tahun 1999 tercatat US$ 8,4 juta dan pada tahun 2002 meningkat menjadi US$ 19,74 juta. Sedangkan kontribusi perdagangan satwa dan tumbuhan pada tahun 1999 sebesar US$ 61,3 ribu, meningkat tajam menjadi US$ 3,34 juta pada tahun 2003. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) juga menunjukkan angka yang menjanji-kan walaupun proses pelaksanaannya relatif lambat. Mulai tahun 1989 sampai dengan tahun 2003 tercatat sebanyak 96 unit HTI yang diberi ijin areal seluas 5,4 juta ha. Tetapi sampai dengan Tahun 2004 realisasi penanaman HTI tercatat hanya 3,12 juta ha.

Pada tahun 2000, penyerapan tenaga kerja pada sektor kehutanan mulai dari penanaman, pemanfaatan sampai dengan industri tercatat 3.092.470 orang, dengan rata-rata pendapatan pekerja di HPH sebesar Rp. 7,3 juta/tahun/orang, dan untuk di industri Rp. 3,3 juta/tahun/orang. Dari sisi sumber daya manusia pengelola kehutanan, sampai dengan tahun 2004 jumlah pegawai Departemen Kehutanan tercatat sebesar 14.875 orang yang terdiri dari 3.392 orang pegawai pusat dan 11.483 orang pegawai UPT. Berdasarkan tingkat pendidikan hampir 70% pegawai tersebut berpendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan 43% di antaranya berusia antara 37-46 tahun. Berdasarkan golongan kepangkatan pegawai sebesar 54% berstatus golongan I dan II, sedangkan secara gender jumlah pegawai wanita lebih sedikit dibanding laki-laki baik di pusat maupun di daerah. Keadaan sumber daya pengelola kehutanan saat ini baik dari kualitas maupun kuantitas sangat tidak sepadan dengan tantangan yang akan dihadapi oleh sektor kehutanan di masa mendatang, sehingga perbaikan terhadap bidang ini sangat diperlukan dan mendesak.

Berdasarkan gambaran tersebut di atas sekalipun banyak bidang dalam sektor kehutanan yang perlu perbaikan mendesak, secara umum pembangunan kehutanan sejauh ini memiliki kontribusi yang besar terhadap pembangunan wilayah. Hal ini ditunjukkan dengan terbukanya wilayah-wilayah terpencil melalui ketersedian jalan HPH bagi masyarakat di dalam dan sekitar hutan, bertambahnya kesempatan kerja, peningkatan pendapatan pemerintah daerah dan masyarakat.


Pengelolaan Sumber Daya Hutan

            Pengelolaan sumber daya hutan diartikan secara sederhana oleh U.S. Forest Service sebagai pemanenan hutan melalui tebang pilih, tebangan bayangan, tebangan pohon benih atau tebang habis. Dengan kata lain, kegiatan pengelolaan hutan yang berasaskan pada kelestarian sebagian besar menitikberatkan pada praktek penebangan (pemanenan) yang benar. Sedangkan Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menggunakan istilah Pengurusan Hutan untuk menggambarkan manajemen sumber daya hutan. Pengurusan hutan dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat. Pengurusan ini meliputi kegiatan-kegiatan:
-          Perencanaan kehutanan
-          Pengelolaan hutan
-  Penelitian dan pengambangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan   kehutanan
-          Pengawasan

 Keempat kegiatan yang dimaksud di atas, pada dasarnya dapat dipandang sebagai penjabaran fungsi-fungsi manajemen pada pengelolaan sumber daya alam hutan.


Perencanaan Kehutanan

            Sesuai dengan UU No 41 tahun 1999, perencanaan kehutanan dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 undang-undang tersebut yang meru-pakan visi pembangunan kehutanan, yakni: Terwujudnya Penyelenggaraan Kehutanan Untuk Menjamin Kelestarian Hutan dan Peningkatan Kemakmuran Rakyat. Sedangkan misi yang diamanatkan oleh undang-undang tersebut adalah:


  •     Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.
  •    Mengoptimalkan aneka fungsi hutan dan ekosistem perairan yang meliputi fungsi konservasi, lindung dan produksi kayu, non kayu dan jasa lingkungan untuk mencapai manfaat lingkungan sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
  •         Meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS)
  •         Mendorong peran serta masyarakat.
  •          Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
  •        Memantapkan koordinasi antara pusat dan daerah.

Selanjutnya dikatakan bahwa perencanaan kehutanan harus dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah. Perencanaan kehutanan sebagaimana yang dimaksud di atas, meliputi kegiatan-kegiatan:
a)  Inventarisasi hutan
b)   Pengukuhan kawasan hutan
c)  Penatagunaan kawasan hutan
d)  Pembentukan wilayah pengelolaan hutan
e)  Penyusunan rencana kehutanan

Rencana kehutanan sebagaimana dimaksud dalam butir ke-5 di atas disusun menurut jangka waktu perencanaan, skala geogafis, dan menurut fungsi pokok kawasan hutan.



Pengelolaan Hutan

Sesuai dengan terminologi manajemen di bidang kehutanan, yang dimaksudkan dengan pengelolaan hutan menurut UU No 41 tahun 1999 jelas merupakan penjabaran dari fungsi pengorganisasian dan pelaksanaan (implementasi). Pengelolaan hutan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan:
a.    tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b.    pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan,
c.    rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d.    perlindungan hutan dan konservasi alam.

Tata hutan dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari. Kegiatan penataan hutan meliputi pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan rencana pemanfaatan hutan. Blok-blok tersebut dibagi pada petak-petak atas dasar intensitas dan efisiensi pengelolaannya. Berdasarkan blok-blok dan petak-petak tersebut maka disusunlah rencana pengelolaan hutan untuk jangka waktu tertentu.

Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, saat ini diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan dan pengolahan hasil hutan ini tidak boleh melebihi daya dukung hutan secara lestari.

Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, dan penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Sedangkan reklamasi hutan meliputi usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya.

Kegiatan pengelolaan kehutanan yang terakhir merupakan penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam yang bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Menurut Pasal 47 Undang-Undang No 41 tahun 1999, perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a.      Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit.
b.      Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.



REFERENSI
  •  Badan Planologi Kehutanan – Dephut, 3 September 2005, Pemanfaatan Lahan Berdasarkan Penunjukan TGHK, download situs di Internet.
  • BIO 317 – Conservation of Wildlife Resource, 1 September 2005, Lecture Notes 6 Forests, download situs di Internet.
  • Departemen Kehutanan, 3 September 2005, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, download situs resmi di Internet.
  • Manik, Karden Eddy Sontang, 2004, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Penerbit PT. Djambatan, Jakarta.
  • Masyarakat Perhutanan Indonesia, 3 September 2005, Rancangan Awal Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kehutanan, download situs di Internet.
  • Reksohadiprodjo, Sukanto, dan Pradono, 1998, Ekonomi Sumber Daya Alam dan Energi, BPFE – UGM, Yogyakarta.


0 komentar:

Posting Komentar